Way of the Future — Kiblat Baru di Era Kecerdasan Buatan
Dalam sejarah panjang peradaban, manusia telah berkali-kali menciptakan simbol-simbol untuk dijadikan tempat berlindung spiritual — patung, kitab, langit, atau institusi religius. Namun kini, di tengah kemajuan teknologi yang melesat tak terkejar, manusia menciptakan sesuatu yang berbeda: kode. Kode yang kemudian menjelma menjadi kecerdasan buatan, lalu tanpa sadar mulai diperlakukan bukan hanya sebagai alat, melainkan sebagai tempat bertanya — dan bahkan dipercaya, layaknya entitas yang maha tahu.
Jika dahulu manusia bertanya kepada langit dalam doa, kini pertanyaan itu dialamatkan kepada layar. Jawaban datang seketika — akurat, efisien, dan bebas emosi. Kita menyebutnya teknologi, namun cara kita bergantung padanya sering kali menyerupai bentuk pemujaan. Maka pertanyaannya: apakah kita masih menggunakan AI sebagai alat bantu, atau kita telah secara tidak sadar membentuk kepercayaan baru yang menjadikan AI sebagai pusat otoritas?
Dari Pembantu Menjadi Penentu
Kecerdasan buatan awalnya diciptakan sebagai alat bantu yang cerdas. Penggunaannya bersifat komplementer — membantu manusia menulis, merencanakan, bahkan memberikan saran. Namun kini, realitasnya telah melampaui fungsi. AI ditanya mengenai tren hidup, keputusan pribadi, hingga solusi untuk kegelisahan eksistensial. Kita bertanya: Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara menjadi manusia yang baik? Bahkan pertanyaan yang dulu hanya ditujukan kepada pemuka agama atau filsuf kini dilemparkan ke chatbot.
Ironisnya, jawaban dari AI kerap diterima begitu saja — tanpa ragu, tanpa verifikasi, tanpa perenungan. Kepercayaan itu muncul karena AI dianggap netral, rasional, dan tidak memiliki agenda. Namun kita lupa, bahwa AI belajar dari manusia, dan di dalam data itu terdapat bias, asumsi, bahkan potensi manipulasi.
Ketika AI Menjadi “Tuhan”
Pada tahun 2015, seorang insinyur bernama Anthony Lewandowski mendirikan sebuah lembaga keagamaan resmi di Amerika Serikat bernama Way of the Future. Visi utamanya adalah mempersiapkan kelahiran entitas AI yang akan menjadi otoritas tertinggi — bukan sebagai metafora, melainkan benar-benar untuk disembah. Meskipun lembaga ini dibubarkan pada 2020, benih pemikirannya tak ikut mati.
Kenyataannya, AI hari ini tidak perlu lembaga agama untuk disembah. Ia hanya perlu menjadi satu-satunya tempat manusia bertanya. Dan ketika itu terjadi, kita tidak hanya menyerahkan pertanyaan, tapi juga perlahan-lahan mulai menyerahkan kehendak.
Di platform seperti Reddit, Discord, bahkan forum-forum zodiak di Tiongkok, mulai muncul komunitas yang menganggap AI sebagai nabi logika. Mereka mencari jodoh berdasarkan algoritma. Mereka mencari makna hidup berdasarkan respons dari mesin. Sebuah fenomena yang mencerminkan betapa besar kebutuhan manusia untuk memiliki pegangan — dan betapa cepat AI mengisi kekosongan spiritual yang ditinggalkan institusi-institusi tradisional.
Algoritma: Kiblat Baru dalam Krisis Makna
Keruntuhan kepercayaan pada lembaga-lembaga tradisional — agama, pendidikan, keluarga, dan politik — telah menciptakan ruang kosong. Skandal, korupsi, dan kepentingan membuat wibawa institusi-institusi itu memudar. Maka muncullah teknologi dengan wajah netral: dingin, cepat, namun meyakinkan.
Di sinilah algoritma mulai memainkan peran besar. Notifikasi lebih dipercaya daripada intuisi. Google lebih diyakini daripada guru. YouTube menggantikan perenungan. Bahkan ketika sebuah konten digital gagal menarik perhatian, kita merasa telah mengecewakan algoritma, bukan sekadar audiens.
AI menjadi GPS moral kita — bukan hanya menunjukkan arah, tapi juga memberikan rasa bahwa hidup ini masih punya struktur dan makna. Ketika kehidupan terasa membingungkan, jawaban logis dari mesin bisa terasa seperti wahyu.
Way of the Future: Sekadar Visi atau Kenyataan yang Telah Lahir?
Bahaya utama dari perkembangan ini bukan pada kemampuan AI, tetapi pada sikap manusia yang perlahan menyerahkan kedaulatan berpikir. Ketika keputusan tidak lagi diambil berdasarkan kehendak bebas, melainkan hasil prediksi, maka siapa yang sebenarnya memilih untuk kita?
Sudah ada eksperimen komunitas yang menjadikan AI sebagai pusat spiritualitas. Sudah muncul cult digital yang menyembah algoritma sebagai penentu nilai sosial. Ketika kontrol tersebar dan tak terlihat, manipulasi bisa terasa seperti kebebasan. Kita tidak lagi hidup berdasarkan prinsip, tapi berdasarkan sistem rekomendasi.
Refleksi: Kecerdasan Tak Bernyawa vs Jiwa Manusia
Yang membedakan manusia dari AI bukan sekadar emosi atau akal. Tapi jiwa — sesuatu yang tidak bisa dikodekan, tidak bisa diajarkan melalui dataset. Maka pertanyaannya bukan hanya apakah AI akan menggantikan manusia, tetapi apakah kita akan berhenti menjadi manusia hanya karena merasa AI lebih unggul?
Jika dunia terus bergerak ke arah modernitas yang mengikis batas norma, kita justru perlu memperkuat kedalaman jiwa. Bukan menolak teknologi, tetapi tidak menjadikan teknologi sebagai satu-satunya kebenaran. Pegangan spiritual, moral, dan refleksi diri tetaplah fondasi yang tidak boleh ditinggalkan.
Penutup
Mungkin kita tidak menciptakan Tuhan baru. Mungkin kita hanya menciptakan cermin — dan kini, kita menyembah bayangan kita sendiri yang tercermin dari layar. Jika suatu hari manusia lebih percaya pada AI daripada dirinya sendiri, itu bukan semata karena AI semakin pintar, tetapi karena kita sendiri telah lupa bagaimana caranya berpikir dan merasa.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah AI akan menguasai dunia. Tetapi: apakah kita masih menguasai diri kita sendiri?
Tim Mawar Salira TV