SALIRA TV | KAB. KARIMUN – Minimnya tanggapan dari aparat penegak hukum (APH) terhadap surat resmi yang dikirim oleh Persatuan Wartawan Fast Respon Nusantara (PW FRN) DPW Kepulauan Riau (Kepri) pada 24 Juli 2025, membuat Ketua PW FRN Kepri, Eliaser Simanjuntak, merasa perlu melapor langsung kepada Ketua Umum DPP FRN, Agus Flores.
Surat tersebut ditujukan kepada Kapolda Kepri dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) terkait dugaan aktivitas di kawasan hutan lindung. Namun hingga akhir Oktober 2025, surat itu belum mendapat jawaban yang memadai. Kondisi serupa juga terjadi pada laporan polisi terkait intimidasi wartawan di wilayah Tanjung Uncang, yang proses hukumnya dinilai lamban dan tidak konsisten dalam penerapan pasal.
Menurut Eliaser Simanjuntak, pihaknya hanya meminta klarifikasi atas kegiatan yang diduga melanggar ketentuan dalam kawasan hutan lindung. Namun yang terjadi, dirinya justru dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Panit Krimsus Polda Kepri.
“Kami hanya ingin mendapatkan kejelasan dan konfirmasi, bukan malah diinterogasi,” ujar Eliaser.
Lambannya respons aparat dianggap mencerminkan ketidakseriusan dalam menangani laporan publik, khususnya yang menyangkut dugaan pelanggaran lingkungan dan kebebasan pers.
Kasus intimidasi terhadap wartawan di Polsek Batu Aji pun turut disoroti. Laporan tersebut sempat menggunakan Pasal 335 KUHP tentang penghinaan, padahal pasal itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian pasal diubah menjadi Pasal 315 KUHP, dan terakhir kembali diubah ke Pasal 310 KUHP. Perubahan yang berulang ini dinilai menunjukkan lemahnya pemahaman aparat terhadap penerapan hukum yang tepat.
PW FRN Kepri juga melayangkan surat resmi kepada Kepala BPKH Wilayah XII Tanjungpinang, Toto Prabowo, S.Hut., M.Si., mengenai delapan titik koordinat yang diduga mengalami alih fungsi hutan lindung di Nongsa, Batam.
Menanggapi hal itu, BPKH menyampaikan bahwa berdasarkan telaahan peta kawasan hutan hingga tahun 2020 dan keputusan Menteri LHK tahun 2024, dari delapan titik koordinat yang dimaksud, satu berada di kawasan hutan lindung, enam berada di hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan satu titik berada di area penggunaan lain (APL).
Namun, hasil verifikasi lapangan oleh PW FRN Kepri menunjukkan bahwa seluruh titik koordinat tersebut sebelumnya masih berstatus hijau (hutan lindung) berdasarkan data pengambilan pada 16 September 2025. Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai siapa pihak yang mengubah status kawasan tersebut.
Eliaser kemudian menanyakan kepada Kepala BPKH terkait dokumen resmi perubahan status kawasan hutan tersebut melalui pesan singkat, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan.
“Jika memang ada perubahan peta, kami hanya meminta bukti berupa SK atau berita acara perubahan,” ujarnya.
Situasi ini kini tengah mendapat perhatian serius dari Ketua Umum DPP FRN, Agus Flores, yang dijadwalkan melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Batam guna menindaklanjuti laporan dan memastikan jalannya komunikasi antara wartawan, aparat, serta instansi terkait berjalan sesuai koridor hukum dan transparansi publik.
Kontributor/Wartawan: Edward Simanjuntak














